Jumat, 28 April 2017

Hiduplah hari ini

Dear readers, sebenarnya aku punya banyak stok cerita dan tulisan-tulisan abstrak (yang kebanyakan bertema galau) untuk diposting. Tapi yah, karena ini cerita perdana di blogku, so, I wanna share the positive thing to read.
Jadi ceritanya, beberapa hari ini aku lagi nyiapin content buat blog, dan secara sengaja buka buka folder dokumen lama berisi curhatan-curhatan jaman SMA dan awal kuliah. Ada satu file tertanggal 6 Agustus 2014, judulnya “Curahan hati sang insomniac”. Haha.. alay ya judulnya. Penasaran aku buka dan baca. Isinya begini..

..................................................
Bojonegoro, Rabu, 6 Agustus 2014| 01:09 WIB
Hari sudah dini, malam telah lama datang, sepi masih menyambut hangat, dan dingin tetap menggelayut di kotaku yang biasanya panas. Untuk kesekian kalinya kantukku belum datang menemui, aku mulai akrab pada atmosfer dini hari. Pikiranku melayang-layang, pada apa yang masih menjadi misteri.
Jejakku semakin tertoreh dalam di kota ini. Kota yang menahanku, yang tak memperbolehkanku pergi darinya. Walaupun hati kecilku benar-benar ingin hijrah. Di kota ini aku sekedar “cuma” bila dibanding yang lain, dibanding kamu, dibanding dia, juga mereka. Aku bukannya tak bersyukur kota ini masih menerimaku, tapi entahlah... kadang sepatah dua patah kata yang terlontar, sebait dua bait kalimat dari mereka masih begitu terdengar menyakitkanku. Karna aku “Cuma” bisa meraih ini, bintang yang tidak terlampau terang dibanding milik kalian.
Aku dulu punya mimpi yang ku gantung tepat 5cm di depan mataku. Mimpi yang selalu tersebut dalam do’aku, tak pernah luput dari setiap jengkal pikir dan anganku. Tapi, mimpi itu ibarat pecahan kaca yang ku genggam terlalu erat, dia justru menyakitku.
Tak terhitung berapa kali aku belajar menerima, belajar realistis bahwa mimpi kadangkala tak akan pernah menemui kenyataan. Namun, disaat kaki mulai menapak tegak, selalu saja ada angin yang kembali membuatku berlutut mewadahi air mata. Selalu ada angin yang menggaungkan tanya dan kata, “Bisakah sekedar ‘cuma’ ini menjanjikan masa depan yang gemilang?”, atau “Sekedar ‘cuma’ ini tak cukup prestigious untuk dibanggakan”.
Aku sadar, sepenuhnya sadar! Bahwa kalian adalah matahari dan aku hanyalah bulan yang bersinar karna pantulan cahaya kalian. Tapi tak bisakah lisan itu tak menyakiti? Biarkanlah aku menghibur diri dengan meyakini kalimat klise bahwa “Tuhan tau apa yang terbaik untuk hambaNya, dan Dia memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.”
Lalu, tak pernahkah aku berpikir tentang masa depan? Jawabannya adalah, aku selalu mengkhawatirkannya! (The future isn’t ours to see). Aku tau... tapi layak kan sekedar “cuma” ini mengkhawatirkannya? Tak ada yang bisa menjamin masa depan, apalagi, sekedar “cuma” ini juga berharap suatu saat nanti bisa menjadi istimewa seperti kalian. Namun, di atas semua ini, izinkan aku meyakini, agar semangat tetap terjaga, dan mimpi baru kembali tertata, menjadi orang luar biasa, meski ditempat yang kalian anggap biasa.

..................................................
Flashback ke masa lalu, inti dari curhatan di atas adalah rasa rendah diri yang sempat saya alami dulu. Jadi ceritanya waktu SMA saya sempat berkeinginan untuk kuliah di salah satu universitas yang presitigious di Indonesia, sebut saja UI :D tapi karena satu dan lain hal, Allah belum berkenan meletakkan nama saya di jajaran siswa yang diterima jadi mahasiswa UI. Dulu saya sempat down banget. Yah.. sakitnya itu berasa ditolak mentah-mentah sama cinta pertama yang lagi sayang-sayangnya. Rasa rendah diri tadi akhirnya berakumulasi dan beranak pinak karena ada rasa iri sama temen-temen seangkatan SMA yang bisa masuk banyak universitas ternama dan sekolah ikatan dinas. Sedangkan saya, saat itu merasa kecil karena “Cuma” bisa masuk ke universitas yang nggak jadi favorit pilihan anak SMA buat kuliah, dan nggak cukup prestigious buat dibanggakan (untuk almamaterku Universitas Negeri Malang, I’m so sorry to write this sentence).
Singkat cerita, dulu saya paling sebel kalau ikut acara reunian atau semacamnya, yang mengharuskan saya ketemu sama temen-temen SMA satu angkatan. Bukan karena apa, saya kangen dan seneng kalau ketemu mereka, selama topik yang kita perbincangkan bukan tentang kehidupan kuliah. Kalau yang dibahas kuliah, rasa rendah diri itu pasti muncul dan otomatis saya akan diam dan jadi pendengar cerita-cerita mereka. Dan masa-masa rendah diri itu terus berlanjut sampai beberapa tahun setelah meninggalkan SMA.
Untungnya, semakin tua saya semakin sadar, mungkin karena semester tua yang banyak nganggurnya, saya jadi punya banyak waktu untuk hal-hal di luar kehidupan akademik perkuliahan, seperti berdiskusi dengan teman-teman, baca buku atau nonton video-video dengan beragam konten yang sometimes berhasil membuat saya merenung dan lebih memaknai arti kehidupan. Makin ke sini saya semakin sadar bahwa semakin kita merisaukan masa lalu atau masa depan, hal itulah yang justru menenggelamkan kita dalam kegelisahan dan akhirnya menghambat kita untuk berkembang.
Dari buku yang pernah saya baca berjudul “Berdamai dengan Takdir” karya Ust. DR. Miftahur Rahman El Banjary, M.A, ada beberapa bagian yang akhirnya menjadi favorit saya, yaitu “Hiduplah Untuk Hari Ini” dan “Biarkan Masa Depan Datang Sendiri”. Intinya adalah jangan hidup dengan masa lalu dan jangan mencemaskan diri dengan masa depan. Hiduplah untuk hari ini dan saat ini. Hidup hari ini bukan berarti mengabaikan masa depan dan tidak bersiap-siap menghadapinya. Hidup hari ini berarti menganggap hari ini adalah masa hidup kita. Kita terlahir dan mati hari ini. Dengan begitu tidak akan ada keresahan, kesedihan dan duka di masa lalu dan bayangan masa depan yang seringkali menakutkan. Kita serasa terlahir menjadi manusia baru setiap harinya. Sehingga, hari ini adalah hari yang tepat untuk mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras kita bagi kehidupan akhirat maupun duniawi.
Jadi untuk mimpi-mimpi di masa lalu yang belum atau tidak terwujud, untuk diriku di masa depan, dan untuk hari ini yang ku jalani :

Yang terpenting adalah arah yang kita tuju, bukan jalan yang kita lewati.


Tetaplah menuju ke arah yang benar, meskipun jalan yang kita lewati adalah jalan lebih terjal yang sebenarnya tidak ingin kita lewati. 
Share:

1 komentar:

  1. So sweet. da besssttt pokok. Setuju banget, kita sama-sama mantan calon the yellow jacket. aku paham banget perasaan andaaa..

    BalasHapus