Dear readers, sebenarnya aku punya
banyak stok cerita dan tulisan-tulisan abstrak (yang kebanyakan bertema galau)
untuk diposting. Tapi yah, karena ini cerita perdana di blogku, so, I wanna
share the positive thing to read.
Jadi ceritanya, beberapa hari ini
aku lagi nyiapin content buat blog, dan secara sengaja buka buka folder dokumen
lama berisi curhatan-curhatan jaman SMA dan awal kuliah. Ada satu file
tertanggal 6 Agustus 2014, judulnya “Curahan hati sang insomniac”. Haha.. alay
ya judulnya. Penasaran aku buka dan baca. Isinya begini..
..................................................
Bojonegoro, Rabu, 6 Agustus 2014|
01:09 WIB
Hari sudah dini, malam telah lama
datang, sepi masih menyambut hangat, dan dingin tetap menggelayut di kotaku
yang biasanya panas. Untuk kesekian kalinya kantukku belum datang menemui, aku
mulai akrab pada atmosfer dini hari. Pikiranku melayang-layang, pada apa yang
masih menjadi misteri.
Jejakku semakin tertoreh dalam di
kota ini. Kota yang menahanku, yang tak memperbolehkanku pergi darinya.
Walaupun hati kecilku benar-benar ingin hijrah. Di kota ini aku sekedar “cuma”
bila dibanding yang lain, dibanding kamu, dibanding dia, juga mereka. Aku
bukannya tak bersyukur kota ini masih menerimaku, tapi entahlah... kadang
sepatah dua patah kata yang terlontar, sebait dua bait kalimat dari mereka
masih begitu terdengar menyakitkanku. Karna aku “Cuma” bisa meraih ini, bintang
yang tidak terlampau terang dibanding milik kalian.
Aku dulu punya mimpi yang ku gantung
tepat 5cm di depan mataku. Mimpi yang selalu tersebut dalam do’aku, tak pernah
luput dari setiap jengkal pikir dan anganku. Tapi, mimpi itu ibarat pecahan
kaca yang ku genggam terlalu erat, dia justru menyakitku.
Tak terhitung berapa kali aku
belajar menerima, belajar realistis bahwa mimpi kadangkala tak akan pernah
menemui kenyataan. Namun, disaat kaki mulai menapak tegak, selalu saja ada
angin yang kembali membuatku berlutut mewadahi air mata. Selalu ada angin yang
menggaungkan tanya dan kata, “Bisakah sekedar ‘cuma’ ini menjanjikan masa depan
yang gemilang?”, atau “Sekedar ‘cuma’ ini tak cukup prestigious untuk dibanggakan”.
Aku sadar, sepenuhnya sadar!
Bahwa kalian adalah matahari dan aku hanyalah bulan yang bersinar karna
pantulan cahaya kalian. Tapi tak bisakah lisan itu tak menyakiti? Biarkanlah
aku menghibur diri dengan meyakini kalimat klise bahwa “Tuhan tau apa yang
terbaik untuk hambaNya, dan Dia memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang
kita inginkan.”
Lalu, tak pernahkah aku berpikir
tentang masa depan? Jawabannya adalah, aku selalu mengkhawatirkannya! (The future isn’t ours to see). Aku
tau... tapi layak kan sekedar “cuma” ini mengkhawatirkannya? Tak ada yang bisa
menjamin masa depan, apalagi, sekedar “cuma” ini juga berharap suatu saat nanti
bisa menjadi istimewa seperti kalian. Namun, di atas semua ini, izinkan aku
meyakini, agar semangat tetap terjaga, dan mimpi baru kembali tertata, menjadi
orang luar biasa, meski ditempat yang kalian anggap biasa.
..................................................
Flashback ke masa lalu, inti dari
curhatan di atas adalah rasa rendah diri yang sempat saya alami dulu. Jadi
ceritanya waktu SMA saya sempat berkeinginan untuk kuliah di salah satu
universitas yang presitigious di Indonesia, sebut saja UI :D tapi karena
satu dan lain hal, Allah belum berkenan meletakkan nama saya di jajaran siswa
yang diterima jadi mahasiswa UI. Dulu saya sempat down banget. Yah.. sakitnya
itu berasa ditolak mentah-mentah sama cinta pertama yang lagi sayang-sayangnya.
Rasa rendah diri tadi akhirnya berakumulasi dan beranak pinak karena ada rasa
iri sama temen-temen seangkatan SMA yang bisa masuk banyak universitas ternama
dan sekolah ikatan dinas. Sedangkan saya, saat itu merasa kecil karena “Cuma”
bisa masuk ke universitas yang nggak jadi favorit pilihan anak SMA buat kuliah,
dan nggak cukup prestigious buat dibanggakan (untuk almamaterku Universitas
Negeri Malang, I’m so sorry to write this sentence).
Singkat cerita, dulu saya paling
sebel kalau ikut acara reunian atau semacamnya, yang mengharuskan saya ketemu
sama temen-temen SMA satu angkatan. Bukan karena apa, saya kangen dan seneng
kalau ketemu mereka, selama topik yang kita perbincangkan bukan tentang
kehidupan kuliah. Kalau yang dibahas kuliah, rasa rendah diri itu pasti muncul
dan otomatis saya akan diam dan jadi pendengar cerita-cerita mereka. Dan
masa-masa rendah diri itu terus berlanjut sampai beberapa tahun setelah
meninggalkan SMA.
Untungnya, semakin tua saya
semakin sadar, mungkin karena semester tua yang banyak nganggurnya, saya jadi
punya banyak waktu untuk hal-hal di luar kehidupan akademik perkuliahan,
seperti berdiskusi dengan teman-teman, baca buku atau nonton video-video dengan
beragam konten yang sometimes berhasil membuat saya merenung dan lebih memaknai
arti kehidupan. Makin ke sini saya semakin sadar bahwa semakin kita merisaukan
masa lalu atau masa depan, hal itulah yang justru menenggelamkan kita dalam
kegelisahan dan akhirnya menghambat kita untuk berkembang.
Dari buku yang pernah saya baca
berjudul “Berdamai dengan Takdir” karya Ust. DR. Miftahur Rahman El Banjary,
M.A, ada beberapa bagian yang akhirnya menjadi favorit saya, yaitu “Hiduplah
Untuk Hari Ini” dan “Biarkan Masa Depan Datang Sendiri”. Intinya adalah jangan
hidup dengan masa lalu dan jangan mencemaskan diri dengan masa depan. Hiduplah
untuk hari ini dan saat ini. Hidup hari ini bukan berarti mengabaikan masa
depan dan tidak bersiap-siap menghadapinya. Hidup hari ini berarti menganggap
hari ini adalah masa hidup kita. Kita terlahir dan mati hari ini. Dengan begitu
tidak akan ada keresahan, kesedihan dan duka di masa lalu dan bayangan masa
depan yang seringkali menakutkan. Kita serasa terlahir menjadi manusia baru
setiap harinya. Sehingga, hari ini adalah hari yang tepat untuk mencurahkan seluruh
perhatian, kepedulian dan kerja keras kita bagi kehidupan akhirat maupun
duniawi.
Jadi untuk mimpi-mimpi di masa
lalu yang belum atau tidak terwujud, untuk diriku di masa depan, dan untuk hari
ini yang ku jalani :
Yang
terpenting adalah arah yang kita tuju, bukan jalan yang kita lewati.
Tetaplah menuju ke arah yang benar,
meskipun jalan yang kita lewati adalah jalan lebih terjal yang sebenarnya tidak
ingin kita lewati.